Tsania Marwa Cerita Terpisahl dari Anak Meski Pegang Hak Asuh di Sidang MK
Togel Singapura – Artis Tsania Marwa menjadi saksi dalam sidang uji Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1946 (KUHP 1946). Dalam sidang itu, Tsania menyampaikan kesaksian sebagai ibu berasal dariĀ BANJIR SKETER DISINI dua anak yang diambil alih oleh mantan suaminya.
“Saya sudah bercerai dan memegang hak asuh anak,” kata Tsania dalam persidangan sebagaimana dikutip berasal dari website Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (19/3/2024).
Sidang tersebut digelar di gedung MK, Senin (18/3). Persidangan dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo.
Dalam sidang, Tsania menceritakan dia merupakan seorang ibu berasal dari dua anak berinisial SMF yang selagi ini berusia 10 th. dan AS berusia 9 tahun. Tsania sudah bercerai dengan suaminya dan pengadilan sudah menentukan hak asuh anak kepadanya.
Tsania Marwa Cerita Terpisahl dari Anak Meski Pegang Hak Asuh di Sidang MK
Namun, katanya, kedua anaknya terpisahkan berasal dari dirinya karena tertutupnya akses berasal dari pihak mantan suaminya. Dia mengatakan Pengadilan Agama Cibinong gagal lakukan eksekusi pada hak asuh anak.
“Hingga akhirnya pada tanggal 29 April 2021, aku dan Pengadilan Agama Cibinong lakukan eksekusi putusan hak asuh anak yang sudah berkekuatan hukum tetap. Namun, pengadilan agama Cibinong tunjukkan eksekusi tersebut gagal karena pihak termohon eksekusi tidak senang mengikuti putusan hak asuh anak dan mempersulit sistem eksekusi tersebut,” tahu Tsania.
Tsania mengatakan sudah tujuh th. terpisah berasal dari anak-anaknya. Dia jadi terlalu dirugikan karena sepanjang berproses hukum harus mengeluarkan ongkos untuk pendampingan hukum, biaya-biaya leges, dan ongkos konsultasi lainnya.
“Kesedihan yang luar biasa, aku jadi tidak mendapat keadilan berasal dari putusan hak asuh berkekuatan hukum tetap, dan yang paling utama aku sebagai ibu yang mencintai kedua anak aku tidak tahu bagaimana pertumbuhan mereka, dan sudah pasti mereka kehilangan sosok ibu kandung yang berasal dari awal hamil aku jaga dan aku mencintai sepenuh jiwa hingga akhir hayat saya,” lanjut Tsania.
Tsania mengaku sempat mengusahakan melacak pemberian dan berkonsultasi ke penyidik di Bareskrim Polri Unit PPA berkaitan dengan momen yang dialami. Dia mengaku bertanya berkaitan penerapan dan pandangan hukum penyidik berkaitan pasal penculikan anak, yaitu pasal 330 KUHP.
Menurut Tsania, penyidik tersebut mengatakan kalau yang mempunyai kabur keliru satu orang tua, baik pemegang hak asuh ataupun bukan pemegang hak asuh, maka pasal 330 KUHP tidak sanggup diterapkan. Hal itu, katanya, karena orang yang mempunyai anak tersebut masih memegang status orang tua.
“Saya selagi itu sungguh dalam situasi bingung melacak daerah untuk sanggup mendapat keadilan di negara ini. Banyak masukan berasal dari pengacara bahwa pasal 330 KUHP sanggup diimplementasikan. Namun faktanya justru tidak sanggup diterapkan di aparat penegak hukum. Di mana keadilan ini?” ujar Tsania.
Sebagai informasi, perkara Nomor 140/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh lima ibu, yaitu Aelyn Halim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadaranggani. Kelima Pemohon merupakan para ibu yang tengah memperjuangkan hak asuh anak.
Para Pemohon menguji frasa ‘Barang siapa’ dalam Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1946 (KUHP 1946). Adapun isikan Pasal 330 ayat (1) KUHP itu ialah:
Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup usia berasal dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau berasal dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun
Dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK, Kamis (2/11/2023), kuasa hukum pemohon, Virza Roy Hizzal, mengatakan para pemohon miliki kesamaan, yaitu miliki hak asuh anak sesudah bercerai dengan suaminya namun tidak mendapat hak tersebut karena mantan suaminya mengambil anak mereka secara paksa.
Misalnya yang dialami Aelyn Halim. Dia mengaku tidak tahu di mana putrinya berada karena sudah disembunyikan oleh mantan suaminya. Aelyn sudah melaporkan momen tersebut ke pihak kepolisian, namun laporan Aelyn tidak diterima dengan alasan yang mempunyai kabur adalah ayah kandungnya.
Virza menyebut negara harus hadir dikala berlangsung pelanggaran pada hak-hak anak. Perbuatan menengahi dan menutup akses anak dengan orang tuanya berdampak jelek bagi tumbuh kembang anak bukanlah ranah hukum pribadi melainkan sudah memasuki ranah publik dalam hal ini hukum pidana.
Para pemohon menghendaki frasa “Barang siapa” dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP diberlakukan bagi tiap tiap orang termasuk ayah atau ibu kandung berasal dari anak, sebagai subjek hukum. Pemohon menghendaki tidak boleh tersedia pengecualian yang beri tambahan kekuasaan dan kewenangan penting bagi ayah atau ibu kalau hingga terjadinya pelanggaran pada hak-hak anak agar tidak sanggup dituntut pertanggungjawabannya.
Dalam petitum, para pemohon menghendaki MK tunjukkan frasa ‘Barang siapa’ dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP yang berasal berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch – Indie (Staatsblad 1915 Nomor 732), yang sesudah itu berlaku berdasarkan UU 1/1946 perihal Peratoeran Hoekoem Pidana juncto UU 73/1958 perihal Menyatakan Berlakunya UU 1/1946 perihal Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘Setiap orang tanpa kalau Ayah atau Ibu kandung berasal dari anak’.