Kisah Menakjubkan Keluarga Bertahan Hidup 38 Hari di Samudra Pasifik
Poker Online Uang Asli –Douglas Robertson terlampau ketakutan: tidak cuman cemas air laut naik dengan cepat sampai ke pinggul yang kemungkinan mengakibatkan perahu layar yang ditempati keluarganya tenggelam, ia begitu risau melihat gerombolan paus pembunuh yang berenang di bawah kakinya.
Paus-paus selanjutnya di awalnya menabrak kapal mereka. Mamalia raksasa itu sampai kini tetap jadi mimpi jelek bagi Douglas dan keluarganya.
“Saya tetap ingat kengeriannya, kami melihat paus pembunuh keluar ke permukaan. Salah satunya kepalanya terluka, dan darah mengucur ke laut,” kata Douglas, mengenang perihal selanjutnya di dalam sebuah wawancara dengan program Outlook BBC lebih berasal dari 50 tahun kemudian.
Peristiwa itu berlangsung terhadap 1972 lampau. Kala itu, Douglas dan keluarganya terombang-ambing di atas perahu kayu di Samudra Pasifik selama 38 hari. Mereka hanya makan daging penyu dan ikan, serta minum berasal dari air hujan yang mereka tampung.
Awalnya, Douglas dengan keluarganya mendambakan berlayar keliling dunia. Petualangan ini berasal berasal dari idaman bapak Douglas yaitu Dougal Robertson dan istrinya, Lyn.
Setelah merencanakan selama nyaris tiga tahun, mereka menjajakan lahan pertanian yang mereka mempunyai di Inggris dan membeli Lucetteperahu kayu dengan dua tiang dan mempunyai penutup, selama 13 meter.
Kisah Menakjubkan Keluarga Bertahan Hidup 38 Hari di Samudra Pasifik
“Kapal itu telah tua, tapi kondisinya tetap terlampau bagus,” kata Douglas.
‘Pelayaran terakhir Lucette’
Pada 1970, mantan kapten Angkatan Laut Inggris, Dougal Robertson, tinggal dengan istrinya, Lyn, seorang mantan perawat, beserta anak-anak mereka di sebuah peternakan sapi perah di Kota Leek, Inggris.
Douglas ingat bahwa kehidupan di peternakan itu tidak dulu mudah, dan perihal inilah yang mendorongnya untuk memulai perjalanan keliling dunia dengan keluarganya.
“Kami tinggal di antah berantah, terlampau terisolasi, dan bapak aku yakin bahwa perjalanan ini bakal jadi langkah untuk mendidik anak-anaknya di universitas kehidupan,” katanya.
Baca juga:
Lumba-lumba mendekat ke pantai lebih-lebih sampai tewas terdampar, mengapa sanggup terjadi?
Kapal pesiar dengan dokumentasi seorang warga Inggris terdampar di Aceh
Mengapa paus sanggup terdampar massal?
Mereka perlu menjajakan lahan pertanian dan beroleh perahu yang sesuai untuk lakukan penjelajahan, seluruh ini dijalankan di sedang kecaman berasal dari para kerabat.
“Namun bapak aku berkeras. Dia bicara bahwa kami perlu berlayar mengelilingi dunia, sebab ini suatu hal yang terlampau tidak sama berasal dari kehidupan yang kami jalani,” kenang Douglas.
Jadi Dougal, Lyn, dan anak-anak mereka: Anna, 19 tahun; Douglas, 18 tahun; serta si kembar Sandy dan Neil, 10 tahun, berlayar dengan kapal Lucette terhadap 27 Januari 1971. Mereka bertolak berasal dari Falmouth, Cornwall.
Fase pertama perjalanan membawa mereka ke Lisbon, Portugal. Kemudian ke Tenerife, di Kepulauan Canary.
Douglas tak dulu lupa dengan cahaya matahari di Kepulauan Canary. (Getty Images)
Bagi Douglas yang kala itu baru saja berusia 18 tahun, cahaya matahari di Kepulauan Canary membuatnya menyadari bahwa mereka terlampau sedang lakukan perjalanan “keliling dunia.”
Di Kepulauan Canary, mereka membeli sebuah perahu fiberglass kecil, yang mereka beri nama Ednamair, sesuai dengan nama ke-2 bibi Douglas yang mensponsorinya: Edna dan Mary.
Mereka mengikatnya di buritan kapal dan berangkat. Mereka menggunakan kala 18 bulan berlayar ke beragam pelabuhan di Karibia.
Di Bahama, Annasaat itu berusia 20 tahunbertemu dengan seorang pria dan memastikan untuk tinggal di sana bersamanya.
Keluarga ini melanjutkan perjalanan, kini tanpa Anna. Namun mereka mendapat kru baru, seorang mahasiswa berusia 22 tahun asal Wales bernama Robin Williams.
Mereka melalui Jamaika dan menyeberangi Terusan Panama.
Perhentian selanjutnya adalah Galapagos. Dari sana mereka memulai pelayaran selama 45 hari melintasi Samudra Pasifik menuju Kepulauan Marquesas di Polinesia, lokasi kekuasaan Prancis.
Serangan
“Saat itu pukul 10 pagi terhadap 15 Juni 1972, ketika perahu layar diguncang dengan keras oleh tiga kali hantaman: Brak! Brak! Brak! Kami tidak menyadari apa yang menimpa kami,” kenang Douglas.
Mereka berada lebih kurang 200 mil sebelah barat Kepulauan Galapagos. Douglas dan Neil sedang berada di dek kala mereka melihat sekawanan paus pembunuh keluar berasal dari di dalam air, salah satunya dengan darah mengucur berasal dari luka yang menganga di kepalanya.
Douglas berlari melacak ayahnya yang berada di dek. Air laut jadi menyusup ke di dalam kapal, setinggi pergelangan kaki. Dia ingat sebelum akan ayahnya menyatakan bahwa kapal sedang tenggelam, air telah naik sampai sepinggang.
“Saat itulah dia berkata, ‘Tinggalkan kapal,’ tapi pertanyaan aku adalah, ‘Tinggalkan kapal ke mana?” kata Douglas.
Pelan-pelan, keresahan jadi menguasai pemuda itu: “Saya jadi berpikir bahwa itu seluruh adalah mimpi buruk, bahwa aku bakal bangun dan seutuhnya bakal baik-baik saja.”
Getty ImagesIlustrasi. Serangan paus pembunuh jadi awal mimpi jelek keluarga Robertson.
Douglas bergegas mengembangkan sekoci karet perahu layar.
“Kami mengenakan jaket pelampung dan naik ke perahu. Saya adalah orang terakhir yang masuk… Ibu aku jadi berdoa.”
“Dia adalah seorang Kristen yang taat. Ayah aku adalah seorang ateis. Saya termasuk seorang ateis. Tapi kali ini aku berpikir: Saya bakal berdoa Doa Bapa Kami sebab aku kemungkinan perlu Tuhan setiap saat,” kata Douglas.
Kapal Lucette tenggelam di dalam lebih dari satu menit. Keluarga itu telah mengemas apa pun yang sanggup mereka dapatkan ke di dalam perahu karet dan Ednamair: sekantong bawang, pisau, sekaleng biskuit, 10 jeruk, enam lemon, senter, lebih dari satu kail pancing dan buku catatan.
Mereka termasuk membawa air untuk 10 hari dan ransum darurat untuk tiga hari. Lyn termasuk membawa peralatan menjahit, termasuk sebuah pena.
Hanya itu yang mereka miliki. Mereka berenam berkumpul dengan di dalam sebuah perahu karet berukuran 2,5 mtr. kali 2 meter, beratapkan tenda kanvas yang dihubungkan dengan tali kawat ke perahu fiberglass.
Tanpa peta, kompas atau alat navigasi apapun.
Dan yang terburuk, tidak tersedia yang menyadari apa yang bakal berlangsung terhadap mereka.
Kenyataan yang berat
Mereka mengakibatkan sebuah rencana. Mereka memastikan pergi ke utara, daerah yang disebut Zona Tenang Khatulistiwa, yaitu daerah di lebih kurang khatulistiwa.
Ini adalah daerah dengan tekanan rendah, angin yang tenang, dan banyak hujanyang mereka butuhkan untuk beroleh air minum.
Di sana termasuk terdapat rute pelayaran, yang bakal tingkatkan peluang untuk berpapasan dengan kapal lain.
Mereka memasang layar terhadap tiang darurat yang terbuat berasal dari dayung di Ednamair, dan mengubah perahu kecil itu jadi semacam kapal tunda dengan menggunakan dayung untuk sekoci karet.
“Enam hari lantas kami melihat sebuah kapal melintas di kejauhan. Kami menyalakan lima suar, tapi kapal itu tidak melihat kami. Itu terlampau mengecewakan,” kata Douglas.
Douglas RobertsonDoug mengenang ayahnya, Dougal sebagai pria yang tangguh tapi efisien.
“Setelah sepuluh hari, mereka sampai di Zona Tenang, cuacanya panas dan kering, berlawanan dengan apa yang kami harapkan.”
“Apa yang sanggup kami lakukan? Kami perlu menunggu. Dan lebih kurang dua atau tiga hari kemudian, tiba-tiba, hujan deras turun.”
“Kami terlampau puas ketika kami jadi bernyanyi di sedang hujan… dan bernyanyi di sedang hujan mengakibatkan paru-paru kami bergetar.”
“Itu adalah langkah sehingga kami selamanya hangat. Karena terhadap kala itu kami nyaris tidak mempunyai baju yang tersisa, baju kami telah hancur.”
Bertahan
Masalah besar lainnya adalah rasa lapar, yang mereka atasi, terhadap awalnya, dengan memakan ikan terbang yang jatuh ke perahu atau perahu kecil.
Belakangan, seekor reptil jadi mendominasi menu makanan keluarga Robertson: penyu.
“Penyu-penyu itu terus berenang ke arah kami,” kata Douglas.
“Pertama kali seekor keluar di depan, kala aku sedang mendayung perahu. Saya memukul kepalanya dengan gagang dayung, tapi penyu itu terus berenang”.
“Penyu ke-2 yang keluar berhasil aku tarik keluar berasal dari air, tapi siripnya terlampau tajam, jadi tangan aku terluka, dan melemparkannya ke bapak aku yang tersedia di perahu.”
“Namun, dia termasuk tidak sanggup memegang penyu itu, dan penyu itu jatuh ke laut. Kami hanya berhasil menangkap penyu yang ketiga.”
“Kami memakan daging merahnya mentah-mentah. Kemudian kami jadi menjemur potongan daging di bawah cahaya matahari, di ke-2 perahu, di mana pun tersedia ruang.”
“Daging kering itu sanggup disimpan selama lebih dari satu hari. Kami menyimpan persediaan. Dan kami menyadari bahwa kami sanggup meminum darah penyu. Rasanya tidak asin. Itu sanggup jadi langkah untuk menukar air.”
Namun, tersedia saatnya mereka kehabisan air. Saat itulah Lyn mempunyai inspirasi yang tidak biasa.
Ia mendambakan menggunakan air hujan kotor yang bercampur darah dan lemak yang menumpuk di dasar perahu fiberglass. Caranya, air yang telah bercampur itu di masukkan melalu anus ke di dalam usus dengan menggunakan enematerbuat berasal dari tabung karet.
Enema adalah alat karet yang digunakan untuk memasukkan air lewat anus untuk membersihkan usus. Ini adalah salah satu langkah menelan air kotor, sebab dinding usus, ketika menyerap air, melakukan tindakan sebagai semacam filter.
Selain rasa haus dan lapar, masalah lainnya adalah perahu jadi bocor. Dougal, Robin, dan Douglas bergantian meniupkan udara ke di dalam perahu karet ini, sebuah pekerjaan yang terlampau melelahkan yang tidak sanggup menghindar air keluar.
Keluarga Robertson diselamatkan oleh perahu nelayan Jepang kala terombang-ambing di Pasifik. (Dok. Keluarga Robertson)
Mereka seluruh perlu duduk di air garam yang dingin selama berhari-hari, dan ini mengakibatkan mereka mengalami luka-luka di sekujur tubuh.
Pada hari ketujuh belas, lantai rakit hancur dan keenam orang itu perlu pindah ke Ednamair, perahu fiberglass yang mereka menggunakan sebagai perahu penarik dan untuk menyimpan air dan makanan.
Mereka mengambil alih apapun yang mereka dapatkan; menempelkan bagian perahu yang mengambang ke haluan Ednamair, dan memasang kanopi, yang termasuk berfungsi sebagai layar.
Di sedang luasnya samudra yang tak terbatas, tersedia enam orang yang berdesakan di di dalam perahu kecil selama delapan kaki. Bahkan untuk berpindah daerah saja mereka perlu rencana yang matang.
Sup tomat dan salad buah
Mereka menggunakan kala dengan bicara tentang makanan.
“Seseorang bakal bercerita tentang bagaimana mereka mengakibatkan sup tomat, misalnya, dan mereka bakal bercerita selama 15 menit.”
“Kami bakal memperhatikan setiap kata. ‘Berapa banyak lada yang anda masukkan?’, ‘Apakah anda termasuk memasukkan mentega ke dalamnya?, ‘Apakah itu roti tawar atau type roti lainnya?”
“Suatu malam aku terlampau haus, mengunyah potongan-potongan kecil karet gelang sebab perihal itu mengakibatkan mulut kami lembab, dan aku jadi melamun, mengayalkan makanan.”
“Saya berpikir tentang salad buah fresh yang bakal aku santap sebagai hidangan penutup, sesudah aku makan steak, telur, dan kentang goreng.
“Dan perihal itu keluar di dalam benak aku dengan begitu detailnya, sehingga aku membangunkan bapak aku dan berkata, ‘Ayah, aku baru saja bermimpi tentang salad buah segar’.”
“Alih-alih marah sebab dibangunkan, ia malah berkata, ‘Ceritakan lebih lanjut, Douglas’. Dan aku pun menceritakan penglihatan itu kepadanya. Dan sesudah aku selesai, dia berkata, ‘Terima kasih banyak,’ dan kembali tidur.”
Kabar baiknya adalah bahwa selama lebih dari satu hari, mereka mempunyai lumayan makanan dan air untuk tingkatkan kebugaran fisik dan mental.
Mereka terus makan ikan dan kura-kura. Dan sejak hari ke-29 dan seterusnya, mereka mempunyai suatu hal yang baru di dalam menu.
“Kami mempunyai lebih dari satu kail, dan biasanya kami menangkap ikan air tawar,” kata Douglas.
Aldi Novel Adilang: Lima langkah bertahan hidup di sedang laut
Cara empat anak bertahan hidup 40 hari di rimba Amazon
Bertahan hidup 14 jam di laut berkat ‘sampah bola apung’
“Selain dagingnya, kami menggunakan air tawar yang tersedia di mata ikan dan kantung yang tersedia di antara tulang belakang mereka”.
“Suatu kali, kami sedang memancing, dan seekor hiu mako, yang panjangnya lebih kurang lima atau enam kaki, lebih kurang dua pertiga berasal dari panjang perahu, kailnya tersangkut pas di bawah matanya.
Jadi, hiu itu berada di bawah belas kasihan kami. Tapi kami tidak menyadari apa yang perlu dilakukan. Bagaimana langkah mengembalikannya ke perahu dan membunuh hiu?”
“Kami mengakibatkan sebuah rencana. Tarik tali sampai hiu berada pas di samping perahu, pegang ekornya, tarik ke di dalam perahu, biarkan kepalanya menggantung.
Ayah aku bakal coba membunuhnya, dan ibu aku bakal coba memasukkan dayung ke di dalam mulutnya sehingga hiu itu menggigit dayung dan tidak menggigit orang lain.”
“Rencana itu berhasil dengan sempurna. Sebenarnya lebih gampang berasal dari yang kami duga sebab hiu itu tidak sanggup bergerak kala berada di luar air.”
“Kami pikir hiu itu bakal meronta-ronta dan sukar dipegang, tapi hiu itu tak berdaya di sana, tidak bergerak.”
Daging hiu ini memberi mereka makan selama sembilan hari. Hingga tiba hari ke-38.
Selamat
Hujan turun deras hari itu. Di sore hari, mereka membicarakan makanan dan sebuah kafe yang mereka kenal.
“Jadi bapak aku bicara tentang kafe ini, sambil melihat ke seberang laut dan tiba-tiba dia berkata, ‘Ada sebuah kapal di sana’. Dan dia terus bicara tentang kafe itu. Dan berasal dari daerah aku duduk, aku tidak sanggup melihat kapal itu.
Saya berkata, ‘Apakah Ayah baru saja menyatakan terkecuali Ayah melihat sebuah kapal? Dan bapak saya: Ya, tersedia kapal di sana. ‘Sebuah kapal. Sebuah kapal!'”
“Kemudian dia menyadari dan berkata: ‘Ambil suar!’ Dia menyalakan suar pertamanya… tidak tersedia yang terjadi, kapal tetap melaju di jalurnya.
Saya lantas beri tambahan suar terakhir kepada bapak saya. Dia menyalakan suar, memegang suar dengan kuat, memegangnya… suar itu membakar tangannya, sampai dia melemparkannya ke laut.”
Tiba-tiba kapal selanjutnya mengubah arah dan membunyikan klakson. Mereka selamat.
Douglas RobertsonKeluarga Robertson sesudah diselamatkan.
Pada 23 Juli 1972, sesudah 38 hari terombang-ambing di lautan, mereka kelanjutannya diselamatkan kapal nelayan Jepang, Toka Maru II, yang sedang di dalam perjalanan menuju Terusan Panama sebab melihat suar darurat.
“Mereka menarik kami ke atas kapal, sebuah kapal Jepang. Dan kami seluruh kotor dan berlumuran darah dan minyak, kami bau!”
“Kapten kapal melihat kami dan perihal pertama yang ia katakan, di dalam bhs Inggris yang terbata-bata, adalah: ‘semua orang mandi!'”
Pada kala itu, Robertson dan Robin Williams telah menempuh perjalanan sejauh 750 mil dengan rakit dan perahu, dan hanya berjarak kurang berasal dari 300 mil berasal dari daratan.
Ketika mereka tiba di Panama lebih dari satu hari kemudian, pers dan tempat berasal dari seluruh dunia telah menunggu. Pada malam hari di hotel, Douglas kelanjutannya mendatangi restoran pertamanya.
“Saya melihat menu dan memesan makan siang, dengan steak dan telur. Saya makan tiga di antaranya. Lima belas menit lantas aku muntah. Mata aku lebih besar berasal dari perut saya!”
Keluarga tersebut, termasuk Robin, mengalami anemia dan dehidrasi. Mereka kehilangan banyak berat badan, tapi yang mengejutkan, tidak tersedia yang perlu perawatan serius.
Ketika mereka dinyatakan sehat oleh dokter, mereka terbang pulang. Robin terbang untuk menemui ibunya di Inggris.
Tetapi Douglas dan bagian keluarga lainnya mengambil alih rute yang lebih lambat. Mereka menggunakan kapal untuk pulang.
Di sana, mereka berjumpa kembali dengan Anna, putri sulung mereka, yang tertinggal di Bahama.
Douglas berhimpun dengan Angkatan Laut dan lantas bisnis jual-beli kapal pesiar.
Bertahun-tahun kemudian, dia merilis sebuah buku, Lucette’s Last Voyage, yang menceritakan kisah 38 hari tersesat di laut.
Untuk mendengarkan wawancara dengan Douglas Robertson di program Outlook (dalam bhs Inggris), klik di sini.
‘Makan ikan mentah dan minum air laut’ – Cerita nelayan Indonesia yang terdampar di pulau terpencil di Australia
Pemilik kapal layar misterius yang terdampar di Indonesia telah ditemukan
Tangisan ibu menyambut nelayan Indonesia yang terdampar di pulau Australia – ‘Bahagia tapi menyakitkan’
Bandar Togel Online | Agen Togel Terbaik | Togel Online Terbesar